Sebuah dunia tanpa aturan. Tanpa batasan. Sosial media, tempat di mana setiap orang bisa menjadi hakim, juri, dan algojo sekaligus. Mereka duduk di singgasana kekuasaan virtual, menentukan nasib seseorang dengan sekali klik. Sungguh, sosial media adalah pengadilan tanpa hakim.
Di sini, opini lebih berharga daripada fakta. Sebuah tuit viral dapat mengubur reputasi seseorang dalam sekejap mata. Tak peduli apakah itu benar atau palsu, yang penting menarik perhatian massa. Hukuman dijatuhkan dengan takdir takdiran, tanpa proses yang adil. Kita semua tahu, keadilan hanya menjadi slogan kosong di dunia maya.
Hakim Ah, mereka telah digantikan oleh ratusan ribu pengguna yang merasa dirinya memiliki kebenaran mutlak. Mereka menghakimi dengan kejam, tanpa mempedulikan konsekuensi bagi korban yang terjatuh di jeratan opini publik yang kejam dan tidak berpihak.
Media sosial adalah arena pertempuran di mana senjata utama bukanlah kebenaran, melainkan narasi yang paling menggugah emosi. Seseorang bisa dihancurkan hanya karena tidak sejalan dengan pendapat mayoritas. Ironisnya, kebebasan berekspresi di sini lebih mirip tirani mayoritas yang menindas suara-suara minoritas.
Twitter, Facebook, Instagram, mereka adalah panggung drama modern di mana setiap orang bisa menjadi bintang utama atau korban. Keputusan ditentukan oleh mob, bukan oleh akal sehat atau keadilan sejati. Sosial media telah menjadi ladang subur bagi kebencian dan ketidakadilan.
Sebuah kebenaran palsu yang diulang-ulang akan lebih percaya daripada kebohongan yang tak terbantahkan. Inilah mantra yang mengalir di aliran digital, menjadikan pengadilan tanpa hakim semakin kuat dan kejam.
Maka, berhati-hatilah saat memasuki arena virtual yang penuh tipu muslihat ini. Sosial media bukanlah tempat yang aman bagi kebenaran atau keadilan. Namun, kita tetap terjebak dalam permainan ini, menjadi narapidana dan hakim sekaligus dalam dunia maya yang penuh kebohongan.