Bagi sebagian orang, internet gratis terdengar seperti berkah. Tapi bagi yang sudah pernah mencoba mengandalkannya untuk kebutuhan harian, mereka tahu satu hal pasti: koneksi gratis itu sering kali putus nyambung seperti nasib cinta yang tak jelas arah.
Banyak pengguna merasa senang saat pertama kali terhubung ke jaringan gratis. Browsing lancar, buka YouTube tanpa buffering, dan chatting tanpa hambatan. Tapi sayangnya, itu hanya manis di awal. Semakin lama digunakan, koneksi mulai melemah, kadang hilang total, kadang hidup sebentar lalu mati lagi.
Tidak ada ritme yang jelas. Tidak bisa diprediksi. Hari ini bisa streaming, besok nonton reels 30 detik saja tidak kuat. Sama persis seperti hubungan tanpa kepastian — menguras emosi, tapi tetap dipertahankan karena “gak ada pilihan lain”.
Ketika koneksi mulai kacau, pengguna hanya bisa gigit jari. Tidak ada layanan pelanggan, tidak ada teknisi, dan tentu saja tidak ada refund. Semua terjadi sepihak. Mau marah ke siapa Nomor teknisi saja tidak tahu. Akhirnya, hanya bisa mengeluh di status WA atau cerita ke tetangga.
Internet seharusnya membantu kehidupan — bukan jadi sumber stres. Tapi sayangnya, koneksi gratis yang tidak stabil justru sering mengacaukan pekerjaan, mengganggu belajar online, atau bikin gagal kirim file penting.
Layaknya hubungan toksik, internet gratis ini membuat pengguna tergantung pada sesuatu yang tidak memberi kepastian. Walau tahu kualitasnya buruk, tetap dipakai karena merasa tidak punya opsi. Padahal, di luar sana ada banyak penyedia lokal yang lebih profesional, bahkan siap pasang hari itu juga.
Tapi mindset “yang penting gratis” membuat masyarakat terjebak dalam siklus putus-nyambung yang tak kunjung selesai.
Kalau kamu masih bertahan dengan koneksi yang “putus nyambung seperti nasib”, mungkin sudah saatnya refleksi. Apakah internet seperti itu pantas dipertahankan Atau lebih baik beralih ke layanan yang stabil, jelas, dan punya teknisi siap bantu
Karena dalam hidup, dan dalam koneksi — yang kita butuhkan adalah kepastian.