Di balik iklan kecepatan internet yang menggiurkan seperti “up to 100 Mbps”, tersembunyi berbagai sisi negatif yang seringkali mengecewakan pelanggan. Sistem “up to” memang terdengar menarik, namun kenyataannya tidak selalu seindah yang dijanjikan.
Pernyataan “up to” berarti pengguna hanya berpotensi mendapatkan kecepatan maksimal tersebut, bukan jaminan. Dalam praktiknya, kecepatan yang dirasakan seringkali jauh lebih rendah—terutama pada jam sibuk atau saat banyak pengguna terhubung.
Banyak pelanggan awam yang mengira mereka akan selalu mendapatkan kecepatan yang tertulis di paket. Ketika kenyataannya tidak demikian, muncul kekecewaan dan rasa tertipu. Sistem ini bisa dianggap sebagai bentuk pemasaran yang menyesatkan jika tidak dijelaskan dengan jujur.
Karena tidak ada kepastian angka kecepatan minimum, konsumen jadi kesulitan untuk mengukur apakah layanan yang mereka terima sesuai atau tidak. Akibatnya, pengaduan ke penyedia layanan pun seringkali mentah tanpa solusi konkret.
Untuk bisnis, gamer, atau pekerja remote yang membutuhkan koneksi stabil dan cepat, sistem “up to” sangat berisiko. Fluktuasi kecepatan bisa mengganggu pekerjaan, video call terputus-putus, dan proses upload/download terganggu.
Dengan menyebarnya layanan “up to” yang murah tapi tidak stabil, penyedia layanan internet yang memberikan kualitas stabil dan konsisten jadi sulit bersaing. Konsumen jadi tergoda harga murah tanpa tahu kualitas aslinya.
Kesimpulan:
Sistem “up to” lebih menguntungkan dari sisi pemasaran penyedia layanan, bukan dari sisi pelanggan. Bagi yang menginginkan kualitas, transparansi dan jaminan kecepatan minimum jauh lebih penting daripada sekadar angka besar di brosur.