Internet gratis memang terdengar menarik. Siapa yang tidak tergoda dengan akses tanpa biaya ke dunia maya Namun, di balik kemasan "bantuan" atau "program sosial", ada bahaya yang jarang disadari: layanan internet gratis kerap dijadikan alat untuk kepentingan tertentu.
Tak sedikit penyedia internet gratis yang masuk ke suatu wilayah dengan membawa agenda tersembunyi. Bisa jadi untuk kepentingan politik, bisnis, branding pribadi, atau pengumpulan data. Mereka menyamar dalam bentuk CSR, sumbangan, atau bahkan "hadiah warga", padahal ada maksud lain di balik itu.
Ketika momentum sudah lewat — misalnya setelah pemilu atau setelah proyek pemasaran tercapai — layanan internetnya pun perlahan hilang. Warga yang semula bergantung, akhirnya ditinggalkan tanpa solusi.
Fenomena ini sering terjadi menjelang event besar. Internet gratis dijadikan alat pencitraan untuk mendapatkan simpati warga. Spanduk, stiker, hingga posting media sosial digunakan untuk menyampaikan kesan bahwa “kami peduli”. Namun kenyataannya, tidak ada niat membangun sistem berkelanjutan. Hanya menumpang popularitas, lalu pergi.
Yang jadi korban Ya, masyarakat itu sendiri. Mereka dijadikan alat, bukan penerima manfaat jangka panjang.
Lebih dari itu, kehadiran internet gratis bermuatan kepentingan ini kerap mematikan usaha lokal. RT/RW Net yang dikelola warga setempat menjadi sepi pelanggan. Padahal usaha lokal inilah yang konsisten membangun jaringan, membayar listrik, menggaji teknisi, dan memberikan layanan yang bisa diandalkan. Ketika internet gratis akhirnya menghilang, ekosistem lokal sudah telanjur hancur.
Alih-alih mendorong masyarakat untuk gotong royong membangun jaringan mandiri, layanan gratis seperti ini justru membentuk ketergantungan. Ketika layanan itu ditarik, warga tidak siap, dan akhirnya mengulangi siklus ketergantungan pada pihak luar yang belum tentu peduli.
Internet gratis yang dijadikan alat kepentingan sesaat bukanlah solusi, melainkan jebakan. Masyarakat perlu waspada agar tidak dimanfaatkan untuk agenda tertentu. Pilihlah layanan yang jujur, bertanggung jawab, dan punya komitmen jangka panjang — terutama yang tumbuh dari lingkungan sendiri.
Karena pada akhirnya, kemandirian digital lebih berharga daripada ketergantungan gratisan yang penuh jebakan.